GANEFO, Even Tandingan Olimpiade Yang Dibuat Indonesia Untuk Lawan Imperialisme


INDOSEJATI - Sejak pagi publik Jakarta berbondong-bondong datang ke Stadion Utama Gelora Bung Karno. Mereka melalui Jalan Sudirman yang berhiaskan ratusan umbul-umbul dan bendera merah putih. Kendaraan berjejalan. Lautan manusia tak terhindarkan. Maklum, tiket masuknya gratis.

Pukul tiga sore, stadion sudah dipenuhi 100 ribu penonton. Di luar gerbang tak kalah ramai. Satu jam kemudian, Presiden Sukarno tiba menggunakan helikopter. Dimulailah rangkaian acara pembukaan pesta olahraga akbar The Games of the New Emerging Forces (Ganefo). Satu per satu kontingen tiap negara berparade, defile, sambil disambut riah-riuh penonton.

Lalu seorang atlet Indonesia, Harun Al-Rasjid, berlari membawa obor untuk menyalakan tungku api Ganefo. Api berkobar, dibarengi pengerekkan bendera dan nyanyian himne Ganefo. Acara seremonial yang tidak asing namun bermakna besar bagi para peserta.

Sukarno naik ke podium. Suasana tiba-tiba hening. Dengan satu kalimat singkat dalam tiga bahasa, Indonesia, Inggris, dan Prancis, dia menyatakan, “dengan ini, Ganefo I saya buka.”

Suara meriam menyambut. Balon-balon diterbangkan ke langit. Ribuan merpati lambang perdamaian terbang mengepakkan sayap. Dan para penonton bersukaria.

Setelah resmi dibuka pada 10 November 1963, cabang-cabang olahraga mulai dipertandingkan. Para atlet dari 51 negara berlaga memperebutkan medali.

***

Penyelenggaran Ganefo berawal dari persoalan sikap Indonesia menolak keikutsertaan Israel dan Taiwan pada Asian Games IV di Jakarta, 24 Agustus–4 September 1962. Akibatnya Komite Olimpiade Internasional (IOC) yang berpusat di Lausanne, Swiss, memutuskan untuk menskors Indonesia dari keanggotaan IOC.

Indonesia tak bersedia mengeluarkan visa untuk kontingen dari Taiwan dan Israel. Alasannya, seperti dikemukakan Sukarno dengan tegas: Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan kedua negara tersebut dan solidaritas rakyat Indonesia terhadap perjuangan negara-negara Arab dan Republik Rakyat Tiongkok.

Saat itu, negara-negara Arab sedang bersengketa dengan Israel yang ditopang Barat. Sedangkan Tiongkok dikucilkan dunia internasional setelah Barat hanya mengakui Taiwan sebagai pemerintahan Tiongkok yang sah. Sukarno melihat hal ini sebagai bentuk penindasan negara-negara Old Established Forces (Oldefos) terhadap New Emerging Forces (Nefos).

“Presiden Indonesia, Sukarno, sangat antusias mendukung pelaksanaan Asian Games. Dia melihatnya sebagai sarana untuk mengejahwantahkan serangkaian tujuan politik, termasuk politik luar negeri yang mengokohkan dirinya sebagai pemimpin negara-negara non-blok,” ujar Charles Little dalam “Games of the Newly Emerging Forces”, termuat di Sports Around The World: History, Culture and Practice.

Kecaman atas sikap Indonesia berdatangan. Paling keras datang dari Guru Dutt Sondhi, pendiri dan wakil presiden Asian Games Federation (AGF). Dia menolak mengakui keabsahan Asian Games IV. Publik Indonesia menganggap ini hinaan besar bagi Sukarno, yang berujung pada pecahnya kerusuhan di depan kedutaan besar India di Jakarta.

“Rombongan demonstran juga menyerbu hotel tempat Sondhi menginap, mencarinya dari kamar ke kamar. Beruntung baginya, dia bisa menyelinap pergi dan sore itu juga dia berhasil keluar dari Jakarta (menuju India),” tulis Mihir Bose dalam The Spirit of The Game: How Sport Has Changed the Modern World.

Di tengah kecaman, Asian Games IV berlangsung dengan sukses. Jepang menjadi pemuncak medali, diikuti Indonesia, India, dan Pakistan.

AGF melemparkan masalah ini ke IOC. IOC bersidang, dan hasilnya Indonesia diskors dari keanggotaan IOC dalam batas waktu yang tak ditentukan sampai Indonesia meminta maaf dan berjanji tak akan mengulangi tindakannya. Penolakan Indonesia terhadap Israel dan Taiwan dianggap IOC sebagai tindakan yang menciderai cita-cita Olimpiade. Indonesia dianggap terlalu jauh mencampurkan urusan olahraga dengan politik

“Untuk kali pertama dalam sejarahnya yang membentang selama 69 tahun, IOC harus memutuskan untuk mengeluarkan sebuah negara yang sudah menjadi anggotanya,” tulis Rusli Lutan dan Fan Hong dalam “The Politicization of Sport: GANEFO–A Case Study” yang terhimpun dalam Sport, Nationalism, and Orientalism: The Asian Games karya Fan Hong.

Sukarno meradang dan memerintahkan Komite Olimpiade Indonesia (KOI) keluar dari IOC pada 14 Februari 1963. Dia mencap India sebagai pengkhianat semangat Dasasila Bandung 1955. Sementara IOC, menurutnya, sudah menjadi kepanjangan tangan kaum imperialis untuk mendominasi urusan olahraga untuk kepentingan sendiri; kecaman mereka terhadap Indonesia yang mencampuri urusan olahraga dengan politik adalah sebuah sifat munafik.

“Jika pandangan dan sikap mayoritas anggota AGF, yang merepresentasikan 13 negara yang menandatangani konvensi Asia-Afrika di Bandung, bahwa Asian Games tidak benar-benar merefleksikan semangat Bandung dengan benar, maka kita harus mengadakan Asian Games baru, yang benar-benar merefleksikan semangat Bandung. Sekarang juga, kita akan mengadakan ajang olahraga baru di antara negara-negara Nefos, secepat mungkin terlaksana, ya, pada tahun 1963 ini,” ujar Sukarno, dikutip India and the Olympics karya Boria Majumdar dan Nalin Mehta.

Karena itu, atas usul Menteri Olahraga Maladi dan juga Sukarno, Indonesia bertekad untuk membuat pesta olahraga sebagai tandingan Olimpiade.



***
Dalam pidato pembukaan konferensi di Hotel Indonesia, Presiden Sukarno menjelaskan Ganefo memiliki tujuan politisuntuk menandingi IOC dan kubu imperialisme di dalamnya. Dia tidak menentang idealisme Olimpiade yang dicetuskan Baron de Coubertin (pendiri sistem olimpiade modern) sebagai sarana persatuan, perdamaian, dan persahabatan antarmanusia di seluruh dunia.

“Kami dengan senang hati bergabung ke dalam IOC karena kami sependapat dengan ide yang disampaikan oleh Baron de Coubertin. Tapi apa yang ternyata kami dapatkan dari IOC? Sikap mereka menunjukkan bahwa mereka sekarang hanyalah sebuah alat imperialisme dan politik! Kami punya pengalaman pahit dengan Asian Games! Bagaimana perasaanmu, komunis Cina! Ketika kamu dikucilkan dari olahraga internasional hanya karena kamu negara komunis? Ketika mereka tidak bersahabat dengan Republik Persatuan Arab, ketika mereka mengucilkan Korea Utara, ketika mereka mengucilkan Vietnam Utara, bukankah itu keputusan politik?” kecam Sukarno.

Kegiatan Ganefo I didasarkan pada semangat Konferensi Asia-Afrika di Bandung dan idealisme olimpiade yang sejati: bertujuan mempromosikan kemandirian perkembangan kebudayaan berolahraga di seluruh negara-negara Nefos, menstimulasi hubungan baik di antara pemuda-pemudi Nefos, serta mempromosikan jembatan persahabatan dan perdamaian dunia pada umumnya.


Sumber: Historia.id

Share this